Sindrom Nefrotik

Sindrom Nefrotik (SN) ialah sekumpulan gejala yang terdiri dari proteinuri massif (>50mg/kgBB/24jam), hipoalbuminemia (<2,5gram/100ml) yang disertai atau tidak dengan edema dan hiperkolesterolemia.

Secara klinis SN terdiri dari :

1) Edema massif

2) Proteinuria

3) Hipoalbuminemia

4) Hiperkolesterolemia atau normokolesterolemia

Pada anak kausa SN tidak jelas sehingga disebut Sindrom Nefrotik Idiopatik (SNI). Kelainan histologis SNI menunjukkan kelainan-kelainan yang tidak jelas atau sangat sedikit perubahan yang terjadi sehingga disebut Minimal Change Nephritic Syndrome atau Sindrom Nefrotik Kelainan Minimal (SNKM). Sarjana lain menyebut NIL (Nothing in Light microscopy) disease.

Insidens

Insidens dapat mengenai semua umur tetapi sebagian besar(74%) dijumpai pada usia 2-7 tahun. Rasio laki-laki : perempuan = 2 : 1, sedangkan pada masa remaja dan dewasa rasio ini berkisar 1 : 1

Klasifikasi

1) Histologik

International Collaborative syudy of Kidney Disease in Children (ISKDC) telah menyusun kalsifikasi histopatologik SNI atau disebut juga SN Primer sebagai berikut

a) Minimal change = Sindrom Nefrotik kelainan Minimal

Dengan menggunakan mikroskop biasa glomerulus tampak normal, sedangkan dengan mikroskop elektron nampak fool processus sel epitel berpadu. Dengan cara imunoflouresensi ternyata tidak terdapat IgG atau imunoglobulin beta 1-C pada dinding kapiler glomerulus.

Golongan ini lebih banyak ditemukan pada anak-anak dibandingkan orang dewasa. Prognosisnya lebih baik dibandingkan dengan golongan lain

b) Glomerulosklerosis fokal

Pada kelainan ini yang memyolok sklerosis glomerulus. Sering disertai dengan atrofi tubulus.

Prognosis buruk

c) Glomerulonefritis poliferatif

1. Glomerulonefritis poliferatif

Terdapat poliferasi sel mesangial dan inflitrasi sel PMN. Pembengkakan sitoplasma endotel yang menyebabkan kapiler tersumbat. Kelainan ini sering ditemukan pada nefritis yang timbul setelah infeksi dengan streptococcus yang berjalan progresif dan pada sindrom nefrotik. Prognosis jarang baik, tetapi kadang-kadang terdapat penyembuhan setelah pengobatan yang lama.

2. Dengan penebalan batang lobular

Terdapat poliferasi sel mesangial yang tersebar dan penebalan batang lobular

3. Dengan bulan sabit

Didapatkan poliferasi sel mesangial dan poliferasi sel epitel simpai (kapsular) dan viseral

4. Glomerulonefritis membranopoliferatif

Poliferasi sel mesangial dan penempatan fibrin yang menyerupai membrana basalis di mesangium. Titer globulin beta 1-C atau beta 1-A rendah. Prognosis tidak baik

5. Lain-lain

d) Nefropati membranosa

Semua glomerulus menunjukkan penebalan dinding kapiler yang tersebar tanpa poliferasi sel. Tidak sering ditemukan pada anak-anak

e) Glomerulonefritis kronik

2) Penyebab

a) Penyebab primer

Umumnya tidak diketahui kausanya dan terdiri atas SNI dengan kelainan histologik menurut pembagian ISKDC

b) Penyebab sekunder

1. Sistemik

  • Penyakit kolagen seperti Systemic Lupus Eritomatosus, Scholen Henoch Syndrome
  • Penyakit perdarahan : Hemolytic Uremic Syndrome
  • Penyakit keganasan : hodgkin disease, Leukemia

2. Infeksi

Malaria, Schitomatosis, mansoni, Lues, Subacute Bacterial Endocarditis, Cytomegalic inclusion disease

3. Metabolik

Diabetes Mellitus dan Amyloiodosis

4. Obat-obatan/ alergen

Trimetahdion, paramethadion, probenecid, tepung sari, gigitan ular, serangga, dan aksin polio

3) Terjadinya

a) SN kongenital

Pertama kali dilaporkan di Finlandia sehingga disebut juga SN tipe Finlandia. Kelainan ini diturunkan melalui gen resesif. Biasanya anak lahir prematur (90%), plasenta besar (beratnya kira-kira 40% dari BB). Gejala asfiksia ditemukan 75% dari kasus

Gejala utama berupa edema, asites biasanya tampak pada waktu lahir atau dalam minggu pertama. Pada pemeriksaan laboratorium dijumpai hipoproteinemia, proteinuria masif dan hiperkolesterolemia

Gejala klinik yang lain berupa kelainan kongenital pada muka seperti hidung kecil, jarak kedua mata melebar, telinga letaknya lebih rendah dari normal. Prognosis jelek dan meninggal karena infeksi sekunder atau kegagalan ginjal. Salah satu cara untuk menemukan kemungkinan ini secara dini ialah pemeriksaan kadar alfa feto protein cairan amnion yang biasanya meninggi.

b) SN yang didapat

Temasuk disini SN primer yang idiopatik dan sekunder.

Patogenesis

Terdapat beberapa teori mengenai terjadinya SN pada anak yaitu :

1) Soluble Antogen Antibody Complex

Antigen yang masuk ke sirkulasi menimbulkan antibodi sehingga terjadi reaksi antigen antibodi yang larut (soluble) dalam darah. SAAC ini kemudian menyebabkan sistem komplemen dalam tubuh bereaksi sehingga komplemen C3 akan bersatu dengan SAAC membentuk deposit yang kemudian terperangkap dibawah epitel kapsula Bowman yang secara imunoflouresensi terlihat berupa benjolan yang disebut HUMPS sepanjang membrana basalis glomerulus (mbg) berbentuk granuler atau noduler. Komplemen C3 yang ada dalam HUMPS inilah yang menyebabkan permeabilitas mbg terganggu sehingga eritrosit, protein dan lain-lain dapat melewati mg sehingga dapat dijumpai dalm urin

2) Perubahan elektrokemis

Selain perubahan struktur mbg, maka perubahan elektrokemis dapat juga menimbulkan proteinuria. Dari beberapa percobaan terbukti bahwa kelainan terpenting pada glomerulus terhadap filtrasi protein yaitu hilangnya fixed negative ion yang terdapat pada lapisan sialo-protein glomeruli. Akibat hilangnya muatan listrik ini maka permeabilitas mbg terhadap protein berat molekul rendah seperti albumin meningkat sehingga albumin dapat keluar bersama urin

Patofisiologik

1) Edema

Edema merupakan gejala utama, bervariasi dari bentuk ringan sampai berat (anasarka) dan merupakan gejala satu-satunya yang nampak. Edema mula-mula nampak pada kelopak mata terutama pada waktu bangun tidur. Edema yang hebat atau anasarka sering disertai edema pada genitalia eksterna. Selain itu juga edema anasarka ini dapat menimbulkan diare atau hilangnya nafsu makan karena edema mukosa usus. Akibat anoreksia dan proteinuria masif, anak dapat menderita PEM. Hernia umbilikalis, dilatasi vena, prolaps rektum dan sesak napas dapat pula terjadi akibat edema anasarka ini.

2) Proteinuria

Ada 2 penyebab yang menimbulkan proteiuria:

  1. Permeabilitas kapiler glomerulus yang meningkat akibat kelainan atau kerusakan mbg
  2. Reabsorpsi protein di tubulus berkurang.

Pada SN, proteinuria umumnya bersifat masif yang berarti ekskresi protein >50mg/kgBB/hari atau > 40mg/m2/jam, atau secara kualitatif proteinuria +++ sampai ++++. Oleh karena proteinuria paralel dengan kerusakan mbg, maka proteinuria dapat dipakai sebagai petunjuk sederhana untuk menentukan derajat kerusakan glomerulus. Jadi yang diukur adalah index Selectivity of Proteinuria (ISP). ISP dapat ditentukan dengan cara mengukur rasio antara Clearance IgG dan Clearance transferin :

Cleranse IgG

ISP = ___________________

Clearance transferin

Bila ISP< 0,2 berarti ISP meninggi (Highly selective proteinuria ) yang secara klinis menunjukkan :

a. Kerusakan Glomerulus ringan

b. Respons terhadap kortikosteroid baik

Bila ISP >0,2 berarti ISP menurun (Poorly Selective Proteiuria) yang secara klinik menunjukkan :

a. Kerusakan glomerulus berat

b. tidak respons terhadap kortikosteroid

3) Hipoproteinemia / hipoalbuminemia

Hipoalbuminemia ialah kadar albumin dalam darah <>

1. proteinuria

2. katabolisme protein yang berlebihan

3. Nutrional deficiency

Pada SN ternyata katabolisme protein meningkat akibat katabolisme protein yang terjadi di tubuli ginjal. Peningkatan katabolisme ini merupakan faktor tambahan terjadinya hipoalbuminemia selain dari proteinuria. Pada SN sering pula dijumpai anoreksia akibat edema mukosa usus halus sehingga intake berkurang yang pada gilirannya dapat menimbulkan hipoproteinemia. Pada umumnya edema anasarka terjadi bila kadar albumin <2 gram/100ml, dan syok hipovolemia terjadi biasanya pada kadar <>

4) Hiperkolesterolemia

Disebut kolesterolemia bila kadar kolesterol >250 mg/100 ml. Akhir-akhir ini disebut juga sebagai hiperlipidemia oleh karena bukan hanya kolesterol saja yang meningkat namun beberpa konstituen lemak meninggi dalam darah. Konstituen lemak itu adalah:

a) Kolesterol

b) LDL

c) VLDL

d) Trigliserida

Akibat hipoalbuminemia, sel-sel hepar terpacu untuk membuat albumin sebanyak-banyaknya. Bersamaan dengan sintesis albumin ini, sel-sel hepar juga akan membuat VLDL. Dalam keadaan normal VLDL akan diubah oleh lipoprotein lipase menjadi LDL. Tetapi pada SN, aktifitas enzim ini terhambat oleh adanya hipoalbuminemia dan tingginya kadar asam lemak bebas. Disamping menurunnya aktifitas lipoprotein lipase ini disebabkan pula oleh rendahnya kadar apolipoprotein plasma sebagai akibat keluarnya protein ke dalam urin. Jadi hiperkolesterolemia ini tidak hanya disebabkan oleh produksi yang berlebihan, tetapi juga akibat gangguan katabolisme fosfolipid.

Gejala Klinik

Pada umumnya tipe SNKM mempunyai gejala-gejala klinik yang disebut di atas tanpa gejala-gejala lain, oleh karena itu secara klinik SNKM ini dapat dibedakan dari SN dengan kelainan histologis tipe lain yaitu pada SNKM dijumpai hal-hal sebagai berikut pada umumnya:

a) Anak berumur 1-6 tahun

b) Tidak ada hipertensi

c) Tidak ada hematuria makroskopis atau mikroskopis

d) Fungsi ginjal normal

e) Titer komplemen C3 normal

f) Respons terhadap pengobatan kortikosteroid

Oleh karena itulah bila dijumpai kasus SN dengan gejala-gejaladiatas dan mengingat bahwa SNKM terdapat pada 70-80% kasus, maka pada beberapa center tidak dilakukan biopsi ginjal.

Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan adalah:

1) Urin

a) Albumin

  • Kualitatif : ++ sampai ++++
  • Kuantitatif : > 50 mg/kgBB/hari ( diperiksa menggunkan reagen ESBACH)

b) Sedimen : oval fat bodies: epitel sel yang mengandung butir-butir lemak, kadang-kadang-kadang dijumpai eritrosit, leukosit, toraks hialin, dan toraks eritrosit

2) Darah

Pada pemeriksaan kimia darah dijumpai:

a) Protein total menurun

b) Albumin menurun

c) β globulin normal

d) α1 globulin normal

e) α2 globulin meninggi

f) γ globulin normal

g) Rasio albumin/globulin

h) Komplemen C3 rendah/normal

i) Ureum, kreatinin dan klirens kreatinin normal

Komplikasi

Komplikasi yang sering menyertai penderita SN antara lain:

1) Infeksi sekunder

Terjadi akibat kadar imunoglobulin yang rendah akibat hipoalbuminemia

2) Syok

Terjadi terutama pada hipoalbuminemia berat (<1gm/100ml)>

3) Trombosis vaskuler

Mungkin akibat gangguan sistem koagulasi sehingga terjadi peninggian fibrinogen plasma atau faktor V, VII, VIII, dan X. Trombus lebih sering terjadi di sistem vena apalagi bila disertai pengobatan kortikosteroid

4) Komplikasi lain yang bisa timbul adalah malnutrisi atau kegagalan ginjal

Penatalaksanaan Sindrom Nefrotik Idiopatik

Penatalaksanaan dibagi atas 2 bagian utama yaitu:

1) Pengobatan umum

1) Diet harus mengandung banyak protein dengan nilai biologik tinggi dan tinggi nilai kalori. Protein 3-5gram/kgBB/hari, bila ureum dan kreatinin meningkat diberikan protein 1-2 gr/kgBB/hari. Kalori rata-rata: 100/kgBB/hari. Garam dibatasi bila edema hebat. Bila tanpa edema diberi 1-2 gram/hari. Pembatasan cairan bila tidak terdapat gejala-gejala gagal ginjal.

2) Aktifitas: tirah baring dianjurkan bila edema hebat atau ada komplikasi. Bila edema sudah berkurang atau tidak ada komplikasi maka anak dapat beraktifitas seperti biasa. Bila tidak melakukan aktifitas fisik dalam jangka waktu yang cukup lama akan mempengaruhi kejiwaan anak.

3) Antibiotik : hanya diberikan bila ada tanda-tanda infeksi sekunder

4) Diuretik : pemberian diuretik untuk mengurangi edema terbatas pada anak dengan edema berat, gangguan pernapasan, gangguan gastrointestinal, atau obstruksi urethra yang diakibatkan oleh edema yang hebat ini. Pada beberapa kasus SNKM yang disertai dengan anasarka, dengan pengobatan kortikosteroid saja tanpa diuretik dapat menghilangkan edema. Diuretik yang dipakai merupakan diuretik jangka pendek yaitu furosemid atau asam etakrinat. Pemakaian diuretik yang berlangsung lama dapat menyebabkan:

  • Hipovolemia
  • Hipokalemia
  • Alkalosis
  • Hiperuricemia

II) Pengobatan dengan kortikosteroid

Pengobatan dengan menggnakan kortikosteroid terutama diberikan pada pasien dengan SNKM.protokol cara pemberian yang digunakan adalah Protokol International Collaborative Study of Kidney Disease in Children (ISKDC)

1) Serangan I

Prednison 2mg/kgBB/hari (maksimal 60-80mg/kgBB/m2/hr) selama 4 minggu (CD), bila tercapai remisi pada akhir minggu ke-4 diteruskan prednison dengan dosis 2/3 dosis selam CD selama 4 minggu dengan cara pemberian selang seling sehari atau dengan pemberian 3 hari berturut-turut selama seminggu. Bila tetap remisi sampai minggu ke-8 dosis, prednison diturunkan perlahan-lahan selama 1-2 minggu

2) Relaps

Cara pemberian sama seperti serangan I, namun CD diberikan hingga timbul remisi

3) Nonresponder

Tidak ada respons setelah pemberian prednison selama 8 minggu. Bila tidak berhasil maka pengobatan digabung dengan imunosupresan yang lain

4) Frequent relapser

Respon terhadap pengobatan kortikosteroid namun telah relaps 2x dalam waktu 6 bulan pertama.

Diberikan kombinasi pengobatan imnuosupresan lain dan prednison 0,2 mg/kgBB/ hari dengan cara CD

Prognosis

Prognosis SN tergantung dari kelainan histopatologiknya. Umumnya SN dengan kelainan minimal (SNKM) yang sensitif dengan kortikosteroid mempunyai prognosis yang baik, sedangkan SN dengan kelainan histopatologik lain seperi bentuk Focal Glomerulosclerosis, Membranopoliferatif glomerulonephritis mempunyai prognosis kurang baik karena sering mengalami kegagalan ginjal.

Dengan berkembangnya dialisis peritoneal, hemodialisis dan transplantasi ginjal, maka penderita-penderita penyakit ginjal dengan gagal ginjal mempunyai harapan hidup yang lebih panjang dan lebih baik

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Halo,

Saya mohon infomasi lebih lanjut ttg sindrom nefrotik krn saya menderita membranosa nefrotik.

email saya : goldenxover@yahoo.com

Thx.