Pengobatan Hidung


Pendahuluan

Hidung mempunyai tugas menyaring udara dari segala macam debu yang masuk ke dalam melalui hidung. Tanpa penyaringan ini mungkin debu ini dapat mencapai paru-paru. Bagian depan dari rongga hidung terdapat rambut hidung yang berfungsi menahan butiran debu kasar, sedangkan debu halus dan bakteri menempel pada mukosa hidung. Dalam rongga hidung udara dihangatkan sehingga terjadi kelembaban tertentu.

Mukosa hidung tertutup oleh suatu lapisan yang disebut epitel respirateris yang terdiri dari sel-sel rambut getar dan sel “leher”. Sel-sel rambut getar ini mengeluarkan lendir yang tersebar rata sehingga merupakan suatu lapisan tipis yang melapisi mukosa hidung dimana debu dan bakteri ditahan dan melekat. Debu dan bakteri melekat ini tiap kali dikeluarkan ke arah berlawanan dengan jurusan tenggorokan. Yang mendorong adalah rambut getar hidung dimana getarannya selalu mengarah keluar. Gerakannya speerti cambuk, jadi selalu mencambuk keluar, dengan demikian bagian yang lebih dalam dari lapisan bulu getar ini selalu bersih dan “steril”. Biasanya pada pagi hari hal ini dapat dicapai.

Dengan penjelasan sepintas tersebut diatas dapat dengan mudah dipahami, bahwa segala sesuatu yang masuk (khusussnya obat) ke dalam hidung secara sengaja tidak boleh menghalangi fungsi dari rambut getar sebagaimana dijelaskan di atas. Harga pH lapisan lendir sekitar 5,5-5,6 pada orang dewasa, sedangkan pada anak-anak 5-6,7 pada pH kurang dari 6,5 biasanya tidak diketemukan bakteri dan bila lebih dari 6,5 mulai ada bakteri.

Bila kedinginan pH lendir hidung akan cenderung naik, sebaliknya bila kepanasan cenderung pH menurun. Pada waktu pilek, pH lendir alkalis, sehingga teori sebenarnya dapat disembuhkan denan mudah dengan cara menurunkan pHnya, yaitu kearah asam. Jadi pemberian obat dengan tujuan mengembalikan kondisi normal dari rongga hidung akan menolong.

Obat hidung biasanya diberikan dengan tiga cara : :

1. Yang biasanya adalah dengan meneteskan pada bagian tiap lubang hidung dengan menggunakan pipet tetes.

2. Dengan cara disemprotkan, alatnya ada yang jenis untuk mendapatkan hasil semprotan beruba kabut (atomizer) ada juga yang agak halus (neulizer) artinya lebih halus dari atomizer.

3. Dengan cara mencucikan dengan alat “nasal douche”

4. Dapat juga dengan cara “inheler”, diisap-isap.

Anatomi fisiologi hidung

Obat untuk hidung sama halnya dengan obat untuk mata, termasuk obat keras yang diawasi oleh DITJEN POM. Namun demikian ada juga yang dapat dibeli bebas, oleh karena itu seorang apoteker harus tahu dan menyadari bahwa suatu ketika akan mengadakan diskusi dengan penderita yang akan beli obat tetes hidung secara bebas. Disitulah keputusan terletak ditangan apoteker.

Proetz dan yang lain yang ahli dalam bidang fisiologi hidung menyatakan bahwa “semua infeksi pada rongga hidung bagaimanapun sumbernya hanya satu yaitu kegagalan system penyaringan dari hidung itu sendiri”, Dia menekankan sekali lagi bahwa kelembaban (moisture) memegang peranan utama dalam mekanisme pertahanan hidung yaitu gerakan cilia yang bergerak secara bertahap mendorong semua yang lengket pada mucus dari arah belakang ke depan lubang hidung tertutup dengan membran mucus respiratori. Epitel bagian respiratori terdiri dari sel silia yang diantaranya ada sel-sel goblet. Sel-sel goblet merupakan kelenjar mucus dan setiap kelenjar ini mukusnya secara teratur didorong keluar oleh aksi cambukan cilia. Dibagian bawah mucus tersebut terjalin jaringan pembuluhan darah vena yang mengatur peredaran darah di hidung.

Hingga sekarang gerakan cilia dipengaruhi syaraf atau tidak belum diketahui dengan jelas. Namun demikian studi Burn menyatakan adanya asetilkholin yang terbentuk di situ dan bahwa konsentrasi kholinesterase sudah ditetapkan. Ternyata konsentrasi kholinesterase yang sangat kecil menghambat mempercepat cilia, sedangkan konsentrasi yang lebih besar memperlambat gerakan. Atropin dan kurare memperlambat gerakan cilia. Efeknya adalah berlawanan.

Kelenjar mucus nampaknya keluar terus-menerus karena aktivitas kelenjar bukan karena sesuatu yang pasif, sebagaimana terdahulu diduga. Untuk membuktikan gejala fisiologis tersebut dilakukan percobaan penyuntikan fluorecein secara intravena. Ingelstedt dan Ivstam memperlihatkan bahwa fluorecein ini tidak terdeteksi pada sekresi hidung yang normal, walaupun sekresi ini juga di transfer dari darah ke cairan lendir hidung. Penderita alergi rhinitis kronik, juga memperlihatkan hal yang sama. Tetapi pada rhinitis akut atay sinusitis pewarna tadi (fluorecein) terdeteksi pada sekresi dengan menguji eksudat. Pada rhinitis akut eksudat keluar secar pasif (dgn sendirinya). Mukus (lendir) melindungi mukosa dari pengaruh larutan histamin, namun bila mucus dihilangkan maka, fluorecein dapat terdeteksi. Suntikan antihistamin juga ternyata memacu inflamasi tersebut.

Mukus merupakan system agak kental, pseudoplastik dan merupakan mukoprotein. Pada keadaan normal benda asing, seperti debu, bakteri, puder dan tetes minyak semua terperangkap dalam film mucus dan dibawa keluar dari rongga hidung. Komposisi yang pasti dari mucus tidak diketahui, karena secara kimia sulit dianalisis.

Telah diketemukan bahwa mukoprotein terdiri dari ikatan polimer dari glukosamin dan atau ikatan asam glukoronat yang terikat terikat pada suatu komponen protein. Ikatan ini melalui ikatan ion, kovalen (ester, anhidrad), hydrogen dan mungkin juga ikatan lain. Selanjutnya dikatakan bahwa mucus hidung 6 kali kental disbanding cairan lambung/nmukus lambung. Kekentalan mucus hidung ini penting sehubungan dengan fungsi cilia, kali terlalu encer tidak baik begiitu pun bila sebaliknya (sulit bagi silia untuk melempar film mucus). Anderson dan Rubin yakin bahwa sedikitnya 20 % kasus gejala penyakit hidung disebabkan kenaikan kekentalan mucus tersebut yang mengarah ke keringan. Kekeringan disebabkan banyak factor antara lain suhu, debu, alergi, obat (atropin, stimulasi atau depresi otonomik) dan serangan virus.

pH normal mucus hidung dilaporakan oleh Febricant, yaitu sekitar 5,5 sampai 6,5 banyak laporan bahwa pH mucus ini alkali atau lebih alkali dari harga tersebut di atas (perbedaan tersebut disebabkan cara pemeriksaannya) udara dingin cenderung menyebabkan pH ke arah alkali. Kemampuan pendaparan hidung kurang baik.

Sejauh ini belum ada laporan cera pengukuran tonisitas lendir hidung dalam pustaka. Namun demikian secara langsung dapat dikatakan bahwa larutan isotoni sama dengan darah (0,9 % NaCl), juga harus dibuat untuk tonisitas hidung. Penelitian juga menyatakan bahwa mucus hidung cukup tinggi toleransinya terhadap tonisitas pada range hipertoni.

Respon cilia terhadap obat

1. Larutan NaCl baik cilia manusia maupun pada kelinci tetap aktif untuk jangka waktu yang lama dalam larutan 0,9 % NaCl pada suhu antara 25-30°C. bila konsentrasi NaCl dinaikkan pada bagian tertentu cilia berhenti bergerak, beberapa jam kemudian tempat lain dan seterusnya. Pada konsentrasi 4-4,5 % semua silia berhenti. Bila membran dicuci dengan konsentrasi air suling dan diganti NaCl 0,9 % cilia aktif kembali. Bila konsentrasi berkurang aktivitasnya, pada 0,2-0,3 % cilia berhenti. Walaupun sama-sama tidak aktif, namun kejadian belakangan tidak dapat diperbaiki dengan menaikkan konsentrasi NaCl jadi kerusakan cilia pada keadaan encer permanen

2. Pengurangan ion kalsium, penggunaan senyawa tartrat, citrat, oksalat dan bahan penghelat Ca lainnya akan menghentikan gerakan cilia.

3. Minyak, akan tinggal lama melengket pada film mucus dan akan mempengaruhi aktivitas normal dari cilia. Minyak tidak baik untuk pembawa, karena menimbulkan lipoid pneumonia. Minyak tumbuhan yang bebas asam lemak dikatakan tidak menimbulkan masalah, namun minyak mineral atau hewan tetap tidak cocok.

4. Protargol, larutan koloid akan mengurangi gerakan cilia

5. Larutan perak dan Zink, juga demikian. Larutan perak nitrat 0,5 % sudah menghancurkan cilia begitu juga zink sulfat.

6. Larutan cocain, larutan lebih besar dari 2,5 % menyebabkan paralisisi cilia, begitu juga efedrin HCl lebih besar dari 1%

7. Kamfer, Timol, Menthol, Eukaliptol dan senyawa eteris lainnya menyebabkan penurunan kecepatan gerak cilia. Kurang dari 1 %. Dalam bentuk uap tidak mempengaruhi (inheler)

8. Antibiotik, Soda penisilin tidak merusak cilia bila diberikan dalam bentuk larutan 250-500 unit/ml (dalam larutan NaCl isotoni). Pada konsentrasi 5000 unit terjadi penurunan kecepatan cambukan cilia dengan diselingi berhenti. Suspensi tirotrisina dalam air (1 : 2000 dan 1:5000) menekan sama sekali aktivitas cilia.

9. Atropin, pemberian oral atropin menyebabkan kekeringan atau penghentian gerakan cilia. Pemberian local mereduksi produksi mucus.

Absorbsi Obat

Absorbsi obat lewat mucus hidung terkadang baik atau lebih baik dari oral. Rute intranasal nampaknya ideal karena menghasilkan efek langsung ke vascular dan mudah pemberiannya. Namun demikian cara ini jarang dijumpai sehari-hari.

Tonndorf dan pembantunya mengkaji absorbsi hiosin dan atropin dari selaput lendir manusia. Mereka mengevaluasi denga cara mengamati hambatan produksi saliva sebagai cara untuk menguji absorbsi obat. Penemuan mereka didemonstrasikan sebagai pemberian obat melalui hidung.

Untuk k semua kasus, produksi saliva untuk kontrol berbeda nyata dengan yang mengandung obat, sediaan kapsul yang paling lambat responnya, diikuti larutan oral. Perlambatan respon nampaknya tergantung pada waktu yang diperlukan untuk melarutkan kapsul dan padatan garam alkalod.

Injeksi subkutan memberikan respon yang paling cepat dan tetes hidung menyusul sesudahnya

Pemberian hiosin dalam bentuk semprotan (spray) responnya tidak sebaik tetes hidung. Akan tetapi apabila 0,01 % Na-Laurilsulfat ditambahkan pada tempat absorbsi obat, maka responnya akan sebaik respon tetes hidung.

Pengkajian kelompok lain dengan rute pemberian sublingual (dibawah lidah), diperoleh hasil yang lebih rendah dibandingkan terhadap baik subkutan maupun tetes hidung. Tidak dijumpai komplikasi loka. Monto dan Rebuck (DOM 915) melaporkan pemberian vitamin B 12 melalui rute hidung. Penulis ini menemukan bahwa inhalasi kristal vitamin B 12 dalam larutan NaCl isotonis dan dalam puder lactose menghasilkan respon klinik dan hematologis pada 12 penderita anemia pernisiosa, ada perbaikan.

Obat yang sering diberikan untuk pengobatan hidung :

- Antibiotik

- Sulfasetamide

- Vasokontriktor

- Germisid

- Antiseptik

Yang perlu diperhatikan bahwa rambut getar dalam rongga hidung sangat peka terhadap beberapa macam obat misalnya obat yang mengandung Efedrin HCl, konsentrasi paling tinggi yang dapat ditahan adalah 3% lebih tinggi dari kadar tersebut akan mengerem kerja dari rambut getar.

Larutan adrenalin yang asam (adrenalin 1 % pH 3) juga akan mengerem kerja dari rambut getar hidung

Larutan kokain HCl hanya dapat digunakan sampai konsentrasi paling tinggi 2,5 %

Larutan protalgol mempunyai pengaruh yang nyata terhadap rambut getar hidung karena mengendapklan protein (padahal lendir yang diekskresikan di daerah rambut getar sebagian bersar terdiri dari protein)

Parafin cair jika digunakan sebagai bahan pembawa (baik sebagai pelarut atau mengahsilkan suspensi) akan memberikan suatu lapisan pada mukosa hidung, hingga secara tidak langsung dapat mengurangi kerja rambut getar, jadi tetes hidung dengan paraffin cair sebaiknya dihindari.

Reaksi alkali seperti misalnya garam sulfat, hendaknya juga dihindari karena biasanya pH larutan sulfat sangat alkali yaitu pHnya antara 10-11. sebagai pelarut bukan lagi air yang dipakai melainkan propilenglikol, larutan sulfat dalam propilen glikol tak perlu dialkalikan, jadi reaksinya sedikit asam (karena sulfa merupakan asam lemah)

Obat tetes hidung harus isoosmotik dengan secret hidung atau isoosmotik dengan cairan tubuh lainnya yaitu sama denagn larutan NaCl 0,9% . pengisotonisan ini perlu sekail maksudnya agar tidak mengganggu fungsi rambut getar, epitel. Sedikit hipertoni masih diperkenankan. Sebagai bahan pengiisotoni digunakan NaCl atau glukosa

Tetes hidung harus steril dan untuk untuk menjaga agar oabat terhindar dari kontaminasi, maka penambahan preservatif juga dilakukan misalnya dengan nipagin atau nipasol atau kombinasi keduanya. Nipagin dipakai 0,04-0,01 %; sedangkan campurannya dapat dibuat dengan kombinasi Nipagin (0.026%) + Nipasol (0.014%)

Secara umum untuk obat (tetes) hidung harus diperhatikan :

1. Sebaiknya digunakan pelarut air

2. Jangan menggunakan obat yang cenderung akan mengerem fungsi rambut getar epitel

3. pH larutan sebaiknya diatur sekitar 5,5-6,5 dan agar pH tersebut stabil hendaknya ditambahkan dapar (buffer)

4. Usahakan agar larutan isotoni

5. Agar supaya obat dapat tinggal lama dalam rongga hidung dapat diusahakan penambahan bahan yang menaikkan viskositasnya agar mendekati secret lendir hidung

6. Hendaknya dihindari larutan obat (tetes) hidung yang bereaksi alkali

7. Penting untuk diketahui jangan sampai bayi diberi tetes hidung yang mengandung menthol, karena dapat menyebabkan karam (kejang) pada jalan pernafasan

8. Harus tetap stabil selama dalam pemakaian pasien

9. Harus mengandung antibakteri untuk mereduksi pertumbuhan bakteri selama dan pada saat obat diteteskan.

Dapar fosfat untuk obat tetes hidung (pH 6,5) dapat digunakan dan dibuat seperti tersebut dibawah ini

NaH2PO4. H2O 0,65

NaH2PO4. 7 H2O 0,54

NaCl 0,45

Benzalkonium klorida 0.01-0,10%

Air suling secukupnya 100 ml

Beberapa obat simpatomimetik (atropin, hiosin, skopolamin) karena mudah teroksidasi jadi perlu penambahan antioksidan dan juga kontrol pH.

Sumber :

1. Ditjen POM, (1979), Farmakope Indonesia, Edisi III, Depkes RI, Jakarta.

2. Ditjen POM, (1995), Farmakope Indonesia, Edisi IV, Depkes RI, Jakarta.

3. Parrot, L.E., (1971), Pharmaceutical Technology Fundamental Pharmaceutics, Burgess Publishing Co, USA.

4. Jenkins, G.L., (1969), Scoville's:The Art of Compounding, Burgess Publishing Co, USA.

5. Gennaro, A.R., (1998), Remington's Pharmaceutical Science, 18th Edition, Marck Publishing Co, Easton.

6. Tjay, T.H., (2000), Obat-obat Penting, Edisi V, Depkes RI, Jakarta.

7. Ganiswara, S.B., (1995), Farmakologi dan Terapi, Edisi IV, Bagian Farmakologi FKUI, Jakarta.

8. Kibbe,A.H., (1994), Handbook of Pharmaceutical Excipient, The Pharmaceutical Press, London.

9. Lachman, L, et all, (1986), The Theory and Practise of Industrial Pharmacy, Third Edition, Lea and Febiger, Philadelphia.

10. Turco, S.,dkk., (1970), Sterile Dosage Forms, Lea and Febiger, Philadelphia.

11. Parfitt,K., (1994), Martindale The Complete Drug Reference, 32nd Edition, Pharmacy Press.

12. Groves,M.J., ( ), Parenteral Technology Manual, Second Edition, Interpharm Press.

Tidak ada komentar: